Rabu, 18 November 2009

artikel perbankan

Nama : Tika Nurmalasari

Kelas : 3EB04

NPM : 21207100

“PERBANKAN di INDONESIA”

Bank merupakan lembaga keuangan terpenting dan sangat mempengaruhi perekonomian baik secara mikro maupun secara makro. Perbankan berperan penting dalam pangsa pasar dari system keuangan di Indonesia. Oleh karena itu, peranan perbankan harus di seimbangi dengan infrastruktur dan evaluasi kinerja yang memadai.

Dalam pengukuran hal yang harus di teliti adalah kinerja bank dan tingkat produktivitas dan efisiensi suatu bank. Indikator yang di gunakan dalam kinerja bank adalah pendekatan kinerja bank secara ekonomi. Pada hakekatnya kinerja ekonomi terdiri dari dua kinerja utama, yaitu
kinerja keuangan dan kinerja effisiensi – produktivitas. Di dalam industri perbankan, analisa yang banyak digunakan oleh banyak negara untuk mengukur kinerja keuangan dan mengevaluasinya adalah Capital (C), Asset Quality (A), Management (M), Earning(E), Liability (L), dan Sensitivity Market to Risk (S) yang biasa disingkat dengan CAMELS.

Sedangkan indikator dalam mengevaluasi tingkat produktivitas dan efisiensi suatu bank, digunakan pendekatan parametrik dan non-parametrik, (Mahadevan,2003) membagi parametrik dan non parametrik menjadi dua bagian yaitu frontier dan non frontier. Walaupun terjadi dua macam pendekatan dalam penilaian kinerja tetapi beberapa hasil studi menunjukan terdapat hubungan positip antara kinerja keuangan dan kinerja effisiensi (Liet al., 2001; Karim, 2001; Barr, et al, 2002; Abidin and Cabanda, 2006).

Selama ini, penilaian mengenai kinerja keuangan perbankan di Indonesia telah banyak dibahas dan disajikan dengan metodologi CAMEL namun tidak banyak tulisan yang menilai berdasarkan tingkat efisiensi. Di lain pihak, pemahaman akan kinerja efisiensi bank mutlak diperlukan dalam situasi persaingan industri perbankan yang semakin ketat seperti disyaratkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), kira-kira demikian..menurut banyak sumber.

KONDISI PERBANKAN di TAHUN 2009

Namun perbankan di tahun 2009 melemah yang disebabkan tingkat pertumbuhan kredit menurun. Hal ini akan berdampak pada naiknya jumlah kredit bermasalah (NPL). Penyebab dari melemahnya pertumbuhan kredit adalah seretnya likuiditas. Satu hal yang antara lain diindikasikan dari berkurangnya lebih dari dua kali lipat ekses likuiditas perekonomian yang disimpan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI), fasilitas BI, dan fine tuning operation (FTO).

Beberapa pekan terakhir, likuiditas perekonomian memang sedikit tertolong oleh suntikan devisa dari negara-negara yang melakukan billateral swap agreement dengan Indonesia seperti Cina. Tambahan dana sebesar 12 miliar dolar AS juga rencananya akan dihasilkan bila komitmen ASEAN Plus 3 bisa segera direalisasikan. Berbagai suntikan devisa ini akan secara langsung mengurangi tekanan terhadap likuiditas domestik melalui mekanisme uang inti.

Sayang, aliran likuiditas yang bertambah tidak serta merta bisa diterjemahkan dalam ekspansi kredit. Persoalannya, krisis global juga menyebabkan semakin akutnya segmentasi pasar perbankan domestik, yang menyebabkan suku bunga kredit komersial sulit turun (Baca: Deviasi BI Rate dan Suku Bunga Kredit).


Berbagai upaya terobosan yang diupayakan BI untuk mengatasi masalah ini, termasuk upaya penciptaan satu pooling fund, belum tanda-tanda menggembirakan. Bank masih saling enggan untuk meminjamkan dananya, karena profil risiko masing-masing yang belum sepenuhnya transparan. Solusi komprehensif segmentasi pasar perbankan ini agaknya harus menunggu sedikit lagi, hingga sah diundangkannya RUU Jaringan Pengaman Sistem Keuangan yang sampai saat ini masih berada di DPR.

Dengan berbagai masalah yang ada, tidak mengherankan bila laju pertumbuhan kredit sepnajang 2009 secara kumulatif bakal melambat di kisaran 15 persen persen. Begitu pula dengan perkiraan laju dana pihak ketiga yang hanya sebesar 11 persen.

Namun, sampai sejauh ini, perlambatan pertumbuhan kredit dan pemburukkan NPL tidak berdampak secara serius pada fundamental sistem perbankan domestik secara keseluruhan. Secara rata-rata, perbankan domestik masih memiliki rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio ––CAR) yang lebih dari cukup, sebesar 17 persen. Angka ini jauh di atas angka minimal sebesar 8 persen. Bantalan modal yang besar ini memungkinkan perbankan domestik untuk menyerap berbagai risiko yang mungkin timbul selama 2009. Pada awal 2009, tingkat NPL juga masih relatif terkendali di bawah 5 persen, meski sedikit meningkat dari angka 4 persen pada akhir 2008.

Fundamental perbankan yang baik ini merupakan modal yang sangat bernilai untuk mengarungi 2009. Tentu, pada tataran operasional perbankan, perlu ada upaya lebih untuk memperbaiki kinerja efisiensi ––yang saat ini masih tergolong cukup rendah dimana rasio BOPO masih sebesar 80an–– serta manajemen resiko dari masing-masing bank. Sebab dari pengalaman mutakhir yang ada, dalam kasus bank Indover dan Century, runtuhnya suatu bank kerap disebabkan oleh manajemen resiko yang amburadul bahkan kriminal. Selain itu, diharapkan nasabah ikut serta dalam mengawasi laporan-laporan kegiatan bank. Sehingga kasus bank Indover dan Century tidak akan terjadi kembali.

Secara bersamaan, upaya perbaikan di skala mikro ini perlu dibarengi oleh upaya di tataran makro berupa konsolidasi perbankan. Konsolidasi yang kerap dilakukan melalui merger selain mengurangi keakutan problem segmentasi pasar perbankan, juga akan mengurangi beban pengawasan otoritas moneter.

Upaya lain pada tataran makro yang perlu terus dilanjutkan bahkan diperkuat adalah kebijakan tata kelola yang berhati-hati (prudential regulation), termasuk dalam hal transaksi derivatif dan valuta asing yang sudah diterapkan. Kebijakan dari BI ini adalah salah satu yang telah menyelamatkan perbankan nasional hingga saat ini, sehingga perlu untuk diteruskan dan jangan justru dilonggarkan.

Di samping perbaikan manajemen resiko dan tata kelola bank, ada baiknya BI juga memberikan arahan sektoral bagi ekspansi kredit sebagai satu petunjuk operasional perbankan. Guidance ini tentunya harus bersifat spesifik dan berbeda pada masing-masing daerah. Pada titik ini, kantor-kantor BI yang tersebar di hampir seluruh pelosok nusantara harus difungsionalisasikan sebagai ujung tombang dalam memberikan arah sektoral yang bersifat lokal.

Eksistensi perbankan Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengetahui, mempelajari dan memperbaiki perubahan-perubahan di lingkungan eksternalnya, baik pada lingkup nasional maupun internasional. Perubahan-perubahan yang penting untuk dicermati adalah :

  • Perubahan struktur dan karakter perekonomian nasional sebagai akibat dari perubahan struktur insentif pasca-krisis.
  • penerapan otonomi daerah.
  • fenomena globalisasi dan regionalisasi.