Kamis, 10 Maret 2011

AKUNTANSI INTERNASIONAL (PART 1)

AKUNTANSI INTERNASIONAL

PENDAHULUAN

Akuntansi memiliki peranan penting dalam masyarakat. Peranan ini didasarkan atas semakin meningkatnya perkembangan zaman yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, akuntansipun mengalami perkembangan yang pesat. Tujuan akuntansi adalah menyediakan informasi yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan untuk membuat keputusan ekonomi.

Dalam dunia usaha, transaksi akuntansi tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja melainkan meluas ke penjuru dunia. Maka dari itu, cabang akuntansi yaitu akuntansi internasional memiliki peranan yang penting dengan konteks yang lebih luas. Sebagai contoh kegiatan ekspor impor, dimana kegiatan itu menggunakan transaksi valuta asing dalam transaksi keuangan.

Menurut Belkaoui (1985), beberapa determinan yang mengakibatkan perbedaan tujuan, standar, kebijakan, dan teknik akuntasi adalah:

1. Relativisme budaya;

2. Relativisme bahasa;

3. Relativisme politik dan social;

4. Relativisme ekonomi dan penduduk;

5. Relativisme hokum dan pajak.

Kelima determinan inilah yang akan menentukan system pelaporan dan pengungkapan di masin-masing Negara sehingga menimbulkan beberapa perbedaan antara satu Negara dengan Negara lain.

SUDUT PANDANG SEJARAH

Awalnya, akuntansi dimulai dengan system pembukuan berpasangan (double entry bookkeeping) di italia pada abad ke 14 dan 15. System pemubukan berpasangan ini dianggap awal penciptaan akuntansi. Akuntansi modern dimulai sejak double entry accounting ditemukan dan digunakan di dalam kegiatan bisnis yaitu system pencatatan berganda yang diperkenalkan oleh Luca Pacioli (th 1447). Luca Pacioli lahir di Italia tahun 1447, dia bukan akuntan tetapi pendeta yang ahli matematika, dan pengajar pada beberapa universitas terkemuka di Italia. Lucalah orang yang pertama sekali mempublikasikan prinsip-prinsip dasar double accounting system dalam bukunya berjudul : "Summa the arithmetica geometria proportioni et proportionalita" di tahun 1494.



Luca memperkenalkan 3 (tiga ) catatan penting yang harus dilakukan:

  1. Buku Memorandum, adalah buku catatan mengenai seluruh informasi transaksi bisnis.
  2. Jurnal, dimana transaksi yang informasinya telah disimpan dalam buku memorandum kemudian dicatat dalam jurnal.
  3. Buku Besar, adalah suatu buku yang merangkum jurnal diatas. Buku besar merupakan centre of the accounting system (Raddebaugh, 1996).

Tahun 1850-an double entry bookkeeping mencapai kepulauan inggris yang menyebabkan tumbuhnya masyarakat akuntansi dan profesi akuntansi public yang terorganisasi di Skotlandia dan Inggris tahun 1870-an. Praktik akuntansi Inggris menyebar ke seluruh Amerika Utara dan seluruh wilayah persemakmuran Inggris. Selain itu model akuntansi Belanda diekspor antara lain ke Indonesia.

Paruh Pertama abad 20, seiring tumbuhnya kekuatan ekonomi Amerika Serikat, kerumitan masalah akuntansi muncul bersamaan. Kemudian Akuntansi diakui sebagai suatu disiplin ilmu akademik tersendiri. Setelah Perang Dunia II, pengaruh Akuntansi semakin terasa di Dunia Barat. Bagi banyak negara, akuntansi merupakan masalah nasional dengan standar dan praktik nasional yang melekat erat dengan hukum nasional dan aturan profesional.

TREN KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN NASIONAL

Dewan Gubernur BI akhirnya menurunkan BI rate sebanyak 50 basis poin menjadi 8,75%. Pertimbangannya, relatif rendahnya tingkat inflasi pada Desember 2008 sehingga inflasi sepanjang 2008 masih berada pada kisaran 11%. Pola kebijakan moneter ini menginformasikan bahwa kebijakan BI rate sampai saat ini lebih diekspektasikan untuk menjaga tingkat inflasi dan bukan diorientasikan menstimulus sektor riil secara langsung. Tren kebijakan ini ketika diimplementasikan dalam kondisi perekonomian yang normal memang tidak bermasalah, namun tatkala situasi ekonomi sedang mengalami berbagai tekanan seperti sekarang, maka jelas akan memperlambat upaya peningkatan laju produksi output nasional. Oleh karena itu, dalam konteks saat ini kebijakan penutrunan BI rate tersebut memang sangat layak karena didukung oleh penurunan permintaan nasional, sehingga dengan tingkat harga yang relatif terjaga penurunan tingkat suku bunga acuan dapat dilakukan.

Merawat Daya Beli

Di luar perdebatan akademik di atas, penurunan BI rate saat ini diharapkan dapat memacu tingkat produksi nasional, baik oleh pelaku usaha mikro-kecil maupun menengah-besar. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan mendasar antara krisis sekarang ini dengan tragedi ekonomi 1997/1998. Dalam konteks saat ini, tekanan ekonomi bukan hanya menimpa korporasi besar tetapi juga pengusaha mikro, kecil, dan menengah. Oleh karena itu, keseluruhan elemen usaha di Indonesia harus mendapatkan fasilitas kebijakan yang setara. Apabila krisis 1997/1998 sektor UMKM dapat dijadikan penopang subsitusi usaha besar, di mana PHK korporasi besar dapat dialihkan pada sektor mikro dan kecil, maka pada saat ini pola tersebut kurang bisa dilakukan. Ini disebabkan adanya penurunan permintaan secara nasional dan global sehingga peningkatan penawaran oleh sektor mikro dan kecil akan sulit diserap oleh pasar.

Berpijak pada kondisi tersebut, maka penurunan BI rate sekarang ini bukan hanya difungsikan untuk menjaga dan meningkatkan produksi nasional, tetapi juga harus bisa digunakan untuk mengamankan tingkat daya beli nasional. Dengan begitu, tingkat permintaan nasional -selama pasar global masih tertekan dan belum adanya subsitusi pasar ekspor Indonesia- akan dapat terjaga sehingga penurunan suku bunga acuan memiliki fungsi strategis dalam mengakselerasi tingkat penawaran produksi. Pada titik inilah, berbagai stimulus ekonomi yang telah dan hendak dikeluarkan oleh pemerintah dapat diposisikan secara integral dengan kebijakan moneter. Kebijakan stimulus ekonomi secara langsung difungsikan untuk menjaga dan meningkatkan produksi nasional. Sementara itu, penurunan BI rate secara tidak langsung dipakai menjada daya beli nasional, sehingga setiap terjadinya peningkatan produksi dapat diikuti oleh kenaikan permintaan.

Persoalan “Time Lag”

Dalam implementasinya, kebijakan penurunan BI rate tidak lantas secara langsung dapat meningkatkan produksi dan konsumsi melalui skema kredit. Hal ini disebabkan setiap penurunan suku bunga acuan tidak langsung diikuti penurunan suku bunga kredit oleh sektor perbankan. Dalam ekonomi yang normal, time lag dari penurunan BI rate ke bunga kredit diperlukan tempo sekitar 3 bulan, sehingga time lag saat krisis sekarang mungkin lebih lama lagi. Parahnya lagi, persoalan ini kurang diregulasi sehingga BI sebagai otoritas moneter tidak dapat memaksa sektor perbankan menurunkan secara langsung suku bunga bank mengikuti penurunan BI rate. Hal ini masih ditambah dengan realitas bahwa struktur perbankan saat ini mulai didominasi asing, sehingga fungsi intermediasi keuangan secara maksimal menjadi sulit tercapai (walaupun bank lokal juga turut andil dalam memperlambat bergeraknya fungsi penyaluran kredit.)

Inefektivitas fungsi intermediasi ini sebenarnya dapat diminimalisasi dengan memanfaatkan secara efektif instrumen negara yang ada. Empat bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI, dan BTN) sebagai subordinat negara dapat diposisikan sebagai alat yang dapat memastikan tujuan kebijakan BI berjalan secara efektif. Pemerintah sebagai pemilik mayoritas bank BUMN harus bisa memaksa unit bisnis negara tersebut menurunkan bunga kredit sehingga penyaluran kredit menjadi lebih cepat. Potensi akselerasi kredit bank BUMN ini cukup besar karena keempatnya memiliki kontribusi besar dalam struktur perbankan nasional. Sampai dengan Oktober 2008, empat bank BUMN itu menguasai 35,67% dana pihak ketiga (DPK) [Statistik Perbankan Indonesia, 2008]. Dengan penguasaan DPK yang relatif besar itu dan adanya penyesusian atas tingkat suku bunga kredit bank BUMN dengan BI rate, maka tingkat kredit nasional sebesar 34,52% yang telah disalurkan bank BUMN pasti dapat ditingkatkan lagi.
Sungguh pun demikian, secara keseluruhan kontradiksi yang terjadi antara kebijakan moneter dan implementasinya tersebut telah memberikan deskripsi bahwa bangunan struktur ekonomi saat ini memang sangat rapuh. Kebijakan moneter yang disusun dengan indikator kuantitatif skala makro tatkala diimplementasikan di lapangan mengalami penyimpangan yang jauh, entah sebab moral hazard ataupun infrastruktur sektor riil sendiri yang tidak bagus. Dalam satu sisi pandang, keengganan perbankan menurunkan bunga kredit dapat dipahami karena risiko kredit yang masih besar (daya beli rendah, stabilitas politik yang diragukan karena peristiwa pemilu, dan lain-lain). Tetapi, secara keseluruhan argumen-argumen itu tidak boleh dibiarkan menjadi dalih untuk semua bagi pelaku ekonomi di sektor perbankan. Di sinilah otoritas moneter harus cerdas memahami perilaku komunitas perbankan agar kebijakan penurunan BI rate efektif dijalankan sehingga memiliki implikasi terhadap percepatan pemulihan di sektor riil

Jurnal Nasional, 12 Januari 2009

Sumber: http://ahmaderani.com/bi-rate-dan-sektor-riil.html

Sofyan Syafri Harahap “Teori Akuntansi”

http://img1.blogblog.com/img/icon18_wrench_allbkg.png

Tidak ada komentar:

Posting Komentar