Senin, 16 Mei 2011

PENGARUH PENYESUANIAN HARGA TERHADAP LAPORAN KEUANGAN

PENDAHULUAN

Indonesia adalah salah satu negara berkembang. Masalah umum yang sering dihadapi negara berkembang adalah tingginya tingkat inflasi. Sejak krisis moneter tahun 1998, harga-harga di pasaran cenderung naik. Tahun 2007 saja tingkat inflasi di Indonesia adalah 6,59 persen. Hal ini bisa diartikan bahwa aktiva yang dimiliki harganya akan berkurang sebesar 6.59 persen sedangkan pendapatan dinilai terlalu tinggi sebesar angka yang sama.

Untuk mengetahui kinerja perusahaan, para investor biasanya menggunakan laporan keuangan perusahaan yang di publikasikan di pasar modal sehingga para investor dapat mengambil keputusan yang cermat dan tepat dalam menanamkan investasi ke perusahaan tersebut. Selain investor pemakai informasi laporan keuangan yang dimaksud, ialah pemilik perusahaan, pemasok, kreditor, manajemen, pemerintah, dan anggota masyarakat lainnya. Informasi yang terdapat di laporan keuangan dianggap memiliki nilai kualitas informasi jika memenuhi dua unsur yaitu dapat diandalkan (reliable) dan relevance bagi pengguna laporan keuangan.

Uniknya pencatatan Akuntansi Indonesia menganut system akuntasi konvesional dimana laporan keuangan disajikan berdasarkan nilai histories (Historical Cost) yang mengasumsikan bahwa harga-harga (unit moneter) adalah stabil. Akuntansi konvensional tidak mengakui adanya perubahan tingkat harga umum maupun perubahan tingkat harga khusus. Sebagai konsekuensinya, jika terjadi perubahan daya beli seperti pada periode inflasi, maka laporan keuangan jika kita kembali kepada penjelasan di paragraph sebelumnya secara ekonomis tidaklah relevan. Untuk mengatasi hal ini akuntansi inflasi menjadi suatu pedoman yang dapat diandalkan dalam menganalisa laporan keuangan suatu perusahaan. Dalam paper ini akunansi inflasi yang dibahas adalah General Price Level Accounting (GPLA).


LANDASAN TEORI

Inflasi

Mishkin (2002) mendefinisikan inflasi sebagai kenaikan tingkat harga yang kontinyu dan terus menerus memepengaruhi individu-individu, bisnis, dan pemerintah. Secara umum inflasi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Inflasi inti (Core Inflation) adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum (faktor-faktor fundamental seperti ekspektasi inflasi, nilai tukar, dan keseimbangan permintaan dan penawaran agregat) yang akan berdampak pada perubahan harga-harga secara umum dan lebih bersifat permanen dan persistent. Inflasi Administered (Administered Price) adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya secara umum diatur pemerintah. Inflasi bergejolak (Volatile Goods Price) adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya sangat bergejolak, umumnya dipengaruhi oleh shocks yang bersifat temporer seperti musim panen, gangguan alam, gangguan penyakit, dan gangguan distribusi. Terdapat dua alasan kenapa ekonom peduli terhadap inflasi:

1. Inflasi dapat memicu distrosi yang lain.

2. Selama periode inflasi, tidak semua harga barang dan upah naik secara proposional, inflasi

mempengaruhi distribusi pendapatan.

Mengacu pada teori ekonomi Neo-Keynesian dalam Gordon (1997) pendekatan determinan inflasi Indonesia dapat dijelaskan, sebagai berikut:

· Inflasi Permintaan (demand-pull inflation) adalah jenis inflasi ini biasa dikenal sebagai Philips Curve inflation, yaitu merupakan inflasi yang dipicu oleh interaksi permintaan dan penawaran domestik jangka panjang. contohnya jika terjadi peningkatan permintaan masyarakat atas barang (peningkatan aggregate demand). Contoh lain bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor, atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah, dll.

· Inflasi Penawaran (cost-push inflation) atau juga bisa disebut supply-shock inflation merupakan inflasi penawaran yang disebabkan oleh kenaikan pada biaya produksi atau biaya pengadaan barang dan jasa. misalnya karena kenaikan harga sarana produksi yang didatangkan dari luar negeri, atau karena kenaikan bahan bakar minyak).

· Ekspektasi Inflasi berasal dari faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat yang dapat bersikap adaptif atau forward looking

Dampak yang ditimbulkan demand pull inflation tidak menyebabkan berkurangnya kesejahteraan masyarakat karena kenaikan harga diiringi dengan kenaikan jumlah barang. Sedangkan pada Cost Push Inflation kenaikan harga menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat karena mengurangi jumlah output.

Indikator Inflasi

Beberapa indeks yang sering digunakan untuk mengukur inflasi seperti;.

- Indeks Harga Konsumen (IHK)menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Dilakukan atas dasar survei bulanan di 45 kota, di pasar tradisional dan modern terhadap 283-397 jenis barang/jasa di setiap kota dan secara keseluruhan terdiri dari 742 komoditas.

- Indeks Perdagangan Besar merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah

- GDP Deflator mencakup jumlah barang dan jasa yang masuk dalah perhitungan GNP diperoleh dengan membagi GDP nominal ( atas dasar harga berlaku ) dengan GDP Riel ( atas daasar harga konstan/tahun dasar )

- Penggunaan Indeks yang bervariasi itu dikarenakan arti penting masing masing barang tersebut bagi tiap kelompok masyarakat tidak sama.

Jenis Jenis Inflasi

Menurut Ukuran parah tidak nya

- Inflasi ringan (di bawah 10% setahun)

- Inflasi sedang (antara 10% - 30% setahun)

- Inflasi berat (antara 30% - 100% setahun), dan

- Inflasi tak terkendali (di atas 100% setahun)


HISTORICAL COST

Sudah dibahas pada pendahuluan bahwa dunia usaha pada umumnya selalu mendasarkan diri pada historical cost yaitu asumsi adanya stable monetary unit yang mengakibatkan semua transaksi yang terjadi dicatat atas dasar nilai historis atau nilai yang didapat saat terjadi transaksi. Di sisi lain disadari pula bahwa stable monetary unit tersebut pada kenyataannya tidak ada, apalagi pada Negara yang menganut ekonomi terbuka seperti Indonesia.

.Penggunaan nilai historis dalam akuntansi finansial disebabkan karena beberapa

alasan:

1. Relevan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Bagi manajer dalam membuat

keputusan masa depan diperlukan data transaksi masa lalu.

2. Nilai historis yang berdasarkan data obyektif dapat dipercaya, dapat diaudit dan

lebih sulit untuk memanipulasi bila dibandingkan dengan nilai yang lain seperti

current cost ataupun replecement cost.

3. Karena telah disepakati berlakunya prinsip akuntansi pada penggunaan nilai

historis memudahkan untuk melakukan perbandingan baik antara industri maupun

antar waktu untuk suatu industri.


Kelemahan penggunaan nilai historis antara lain:

1. Adanya pembebanan biaya yang terlalu kecil karena pendapatan untuk suatu hal

tertentu pada saat tertentu akan dibebani biaya yang didasarkan pada suatu nilai

uang yang telah ditetapkan beberapa periode yang lalu pada saat pencatatan

terjadinya biaya tersebut.

2. Nilai aktiva yang dicatat dalam neraca akan mempunyai nilai yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan perkembangan harga daya beli uang terakhir. Di samping itu juga terjadi perubahan-perubahan kurs yang cepat atas aktiva dan pasiva dalam valuta asing yang dikuasai perusahaan sehingga mengalami kesulitan dalam perhitungan selisih kurs yang tepat

3. Alokasi biaya untuk depresiasi, amortisasi akan dibebankan terlalu kecil dan mengakibatkan laba dihitung terlalu besar.

4. Laba/rugi yang terjadi yang dihasilkan oleh perhitungan laba/rugi yang didasarkan pada asumsi adanya stable monetary unit tersebut tidaklah riil apabila diukur dengan perkembangan daya beli uang yang sedang berlangsung.

5. Adanya stable monetary unit. Perusahaan tidak akan memperahankan real apitalnya dan ada kecenderungan terjadinya kanibalisme terhadap modal sehubungan dengan pembayaran pajak perseroan dan pembangian laba yang lebih besar daripada semestinya.

6. Menyalahi mathematical principle karena berbagai himpunan yang tidak sama dijumlahkan menjadi satu.

7. Di samping hal-hal di atas akan timbul kesulitan-kesulitan bagi manajemen perusahaan apabila harus mendasarkan pada laporan akuntansi yang disusun atas dasar asumsi.

General Price Level Accounting (GPLA)

Di Indonesia, General Price Level accounting dikenal sebagai Akuntansi tingkat harga umum menyatakan bahwa nilai sesungguhnya dari Rupiah (disingkat Rp) ditentukan oleh barang atau jasa yang dapat diperoleh, yang biasa disebut daya beli. Dalam masa inflasi ataupun deflasi, jumlah barang/jasa yang dapat diperoleh berubah dengan nilai uang nominal yang konstan, yang berarti bahwa daya beli Rupiah berubah. Akuntansi tingkat harga umum akan mengadakan penyajian kembali komponen-komponen laporan keuangan ke dalam Rupiah pada tingkat daya beli yang sama, namun sama sekali tidak mengubah prinsip-prinsip akuntansi yang digunakan dalam akuntansi berdasarkan nilai histories.

Penyesuaian atas besaran keuangan untuk inflasi guna mencerminkan nilai harga umum atau tingkat harga umum dan penggunaan nilai yang telah disesuaikan tersebut dalam akuntansi. Perubahan tingkat harga umum dapat dihitung atau diukur dengan indeks harga. Indeks harga yang biasa digunakan adalah indeks harga konsumen, yaitu suatu indeks yang menyajikan perubahan periodic dalam biaya kelompok barangbarang terpilih yang dibeli konsumen yang digunakan sebagai ukuran inflasi.

Kontroversi yang berkaitan dengan kerelevanan GPLA telah dan masih berlangsung hingga saat ini. Sejumlah argumentasi yang mendukung telah dikembangkan (Richard & Myrtle 1995):

1. Laporan keuangan yang tidak disesuaikan dengan tingkat harga umum atau

dengan kata lain disajikan berdasarkan nilai historis tidak mencerminkan perubahan kemampuan atau daya beli (purchasing power) dari bermacam-macam aset dan klaim dalam perusahaan. Sedangkan laporan yang disajikan berdasarkan tingkat harga umum menyajikan data yang mencerminkan purchasing power dari aset dan klaim dalam mata uang tertentu pada akhir periode.

2. Conventional historical-cost accounting tidak mengukur pendapatan (income) dengan sewajarnya sebagai hasil matching Rupiah dalam laporan laba rugi. Beban-beban yang telah terjadi pada periode sebelumnya dikontrakan dengan pendapatan-pendapatan yang umumnya dicerminkan dalam nilai Rupiah tertentu pada saat ini. General price-level accounting menyediakan konsep matching pendapatan dan beban yang lebih baik karena menggunakan nilai uang konstan (common value).

3. General price-level accounting relatif mudah diterapkan. Hanya sekedar mengganti “nilai lama” dengan “nilai saat ini”. General price-level accounting mencerminkan konsep terakhir dari Prinsip Akuntansi Umum (General Accepted Accounting Principles). Sebagai akibatnya, dirasa relatif lebih obyektif dan dapat diuji kebenarannya. Karakteristik tersebut yang menyebabkan general price-level accounting lebih dapat diterima dibanyak perusahaan dibanding current-value accounting.

4. General price-level accounting menyediakan informasi yang relevan bagi manajemen dalam evaluasi dan penggunaannya. Jadi laba dan rugi berdasarkan tingkat harga umum dihasilkan dari penanganan item-item moneter yang merefleksikan respon manajemen terhadap inflasi. Pada akhirnya, general pricelevel accounting menyajikan pengaruh inflasi secara umum terhadap laba dan menyediakan hasil investasi (rate of returns) yang lebih realistis. Relevansi lebih berkepentingan dengan masa sekarang dan masa mendatang, karena itu informasi yang didasarkan pada nilai historis dianggap kurang relevan untuk tujuan pengambilan keputusan khususnya dalam kondisi ekonomi yang cenderung mengalami inflasi.

Referensi::

http://www.pdfqueen.com/html/aHR0cDovL3N0YWZmLnVpLmFjLmlkL2ludGVybmFsLzA2MDgwMzAwNC9tYXRlcmlhbC9TdXBsZW1lbk5vdGVLdWxpYWgxLnBkZg==

http://4putciput.weebly.com/uploads/1/3/5/5/1355290/akuntansi_inflasi_dalam_menilai_relevasi_laporan_keuangan_suatu_perusahaan.pdf

http://www.pdfqueen.com/html/aHR0cDovL3ByaXlvLnN0YWZmLmd1bmFkYXJtYS5hYy5pZC9Eb3dubG9hZHMvZmlsZXMvMTE1MTkvNS4rSW5mbGFzaS5wZGY=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar